Ini Dia Asal-Usul Kenapa Orang Indonesia Suka Menyingkat Kata
Sekarang, singkatan kata atau akronim telah menjadi kebiasaan orang Indonesia dalam berkomunikasi. Contohnya, ketika dalam situasi formal, kita sering singkat “Natal dan Tahun Baru” menjadi “Nataru”. Atau “sembako” untuk “sembilan bahan pokok”. Namun, dalam situasi santai, contohnya lebih banyak lagi. “Lagi di mana?” menjadi “lg dmn?”. “Terima kasih” menjadi “trims”. Tetapi, terkadang penyingkatan kata ini membuat komunikasi sulit dipahami karena tidak semua orang mengerti singkatan yang digunakan lawan bicara. Bahkan, kadang-kadang muncul makna baru dari singkatan tersebut.
Sebut saja contoh seperti “ttdj” yang sebenarnya berarti “hati-hati di jalan”, tetapi bisa juga diartikan sebagai musisi Titi DJ. Atau “HBD” yang seharusnya berarti “Happy Birthday”, tapi diartikan sebagai “Hidup Butuh Duit”. Kebiasaan orang Indonesia dalam menyingkat kata atau menggunakan akronim, yang dikenal dalam bidang linguistik, sudah berlangsung lama. Sejarah mencatat bahwa kebiasaan ini berasal dari pengaruh kebiasaan di dunia militer.
Kerahasiaan dan efisiensi yang dijunjung tinggi di dunia militer menciptakan akronim-akronim yang hanya dimengerti oleh pihak tertentu. Seperti Babinkum (Badan Pembinaan Hukum), Dirrenbangpuan (Direktur Perencanaan dan Pengembangan), dan sebagainya. Masyarakat Indonesia, terutama yang pernah dipimpin oleh tokoh militer, juga ikut terpengaruh dengan kebiasaan ini.
Soenjono Dardjowidjojo dalam “Acronymic Patterns in Indonesian” (1975) menjelaskan bahwa hobi menggunakan akronim dalam bahasa Indonesia sudah ada sejak lama. Bahkan pada tahun 1960-an, Soekarno sudah terbiasa menyingkat kata, seperti “Jas Merah” (Jangan Sesekali Melupakan Sejarah) dan “Nasakom” (Nasionalis, Agama, Komunis). Namun, fenomena ini tidak begitu populer hingga Peristiwa G30S terjadi pada tahun 1965.
Peristiwa G30S membuka jalan bagi Jenderal Soeharto untuk berkuasa selama 32 tahun, yang membuat peran militer semakin besar dalam kehidupan sipil dan pemerintahan. Akibatnya, kebiasaan menggunakan akronim dari dunia militer pun menular ke masyarakat luas. Salah satu kelompok yang turut memperkenalkan banyak akronim ke masyarakat adalah para jurnalis melalui publikasi koran, majalah, dan TV.
Akibatnya, terjadi akronimisasi yang menghasilkan banyak kata atau gabungan huruf yang disingkat oleh masyarakat. Russel Jones dalam “Acronym in Bahasa Indonesia” (1974) mencatat bahwa hingga tahun 1974 saja sudah ada 27.000 akronim. Namun, belum ada riset yang memaparkan jumlah akronim di Indonesia saat ini. Pastinya, jumlahnya sudah jauh lebih dari 27.000 kata.
Proses akronimisasi bukanlah sesuatu yang salah, karena hal ini juga terjadi di banyak negara lain. Ahli linguistik Nenagh Kemp dari University of Tasmania menyebut akronimisasi sebagai proses wajar masyarakat untuk menghemat waktu dan tenaga. Lebih dari itu, proses ini juga bisa membuat percakapan menjadi lebih santai. Namun, penting untuk disepakati oleh kedua belah pihak agar tidak terjadi kesalahpahaman.